Oleh: Silvia AP )*
Fenomena golongan putih (golput) sering kali dipandang sebagai bentuk protes terhadap sistem politik yang dianggap tidak memberikan hasil nyata bagi kesejahteraan rakyat. Namun, sikap golput justru dapat berdampak negatif terhadap proses demokrasi dan melemahkan Pilkada yang berintegritas. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi angka golput dan memastikan bahwa masyarakat aktif berpartisipasi dalam Pilkada, salah satunya dengan meningkatkan edukasi politik. Dengan kata lain, untuk mewujudkan Pilkada yang berintegritas, penting bagi setiap warga negara yang memiliki hak pilih untuk menggunakan haknya tersebut secara bijak dan bertanggung jawab.
Pilkada yang berintegritas menuntut partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Partisipasi dalam pemilihan tidak hanya hak, tetapi juga kewajiban moral setiap warga negara yang peduli terhadap masa depan daerahnya. Setiap suara yang diberikan dalam Pilkada memiliki potensi besar untuk mempengaruhi hasil akhir, yang pada gilirannya akan menentukan siapa yang akan memimpin daerah dan bagaimana kebijakan-kebijakan publik di daerah tersebut akan dibentuk.
Partisipasi dalam Pilkada sangat penting, karena melalui Pilkada masyarakat dapat secara langsung memilih pemimpin yang mereka percayai untuk membawa perubahan positif di daerahnya. Dengan memberikan suara, masyarakat memiliki kesempatan untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih adalah sosok yang memiliki integritas, kompetensi, dan komitmen untuk membangun daerah dengan adil dan transparan.
Namun, jika masyarakat memilih untuk golput, mereka secara tidak langsung menyerahkan keputusan penting tersebut kepada segelintir orang yang tetap berpartisipasi. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat demokrasi, di mana setiap individu memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menentukan masa depan daerahnya. Lebih jauh lagi, fenomena golput bisa menyebabkan terpilihnya pemimpin yang tidak kompeten, yang mungkin tidak mewakili aspirasi mayoritas masyarakat.
Salah satu indikator penting dari Pilkada berintegritas adalah adanya mekanisme pengawasan yang kuat. Baik itu oleh lembaga-lembaga pemerintah yang berwenang, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maupun oleh masyarakat sipil dan media. Dengan pengawasan yang efektif, segala bentuk kecurangan, mulai dari politik uang, intimidasi, hingga manipulasi suara, dapat dicegah atau setidaknya diminimalisir.
Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), turut memastikan setiap tahapan pemilu berjalan lancar, dengan turut menyediakan sumber daya yang dibutuhkan. Pemerintah Daerah juga memastikan netralitas ASN dan perangkat pemerintahan dijaga ketat menjelang pemilihan ini. Sekda DIY, Beny Suharsono mengatakan terdapat tiga pilar utama yang harus menjadi landasan Pilkada 2024, yakni pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia, persaingan yang adil antara peserta pemilu, dan kepercayaan masyarakat terhadap hasil Pemilu. Pemilu yang damai dan demokratis sudah seharusnya menjadi tanggung jawab seluruh sektor.
Selaras dengan hal tersebut, Ketua Bawaslu DIY, Drs. Mohammad Najib, M.Si, mengatakan agar terwujudnya DIY sebagai provinsi terbaik dalam pelaksanaan pilkada, perlunya dukungan dari para calon, partai politik, hingga masyarakat. Selain itu, Koordinator Divisi P2H Bawaslu Republik Indonesia, Lolli Suherty, S.Sos.I, M.H, mengatakan bahwa sikap ramah, santun, terbuka dan toleran dapat menjadi langkah awal pemilu yang damai. Lolly berharap semoga sikap toleransi akan budaya dapat terimplementasi dalam perbedaan pandangan politik juga.
Dalam konteks masyarakat, Pilkada berintegritas juga menuntut kesadaran politik yang lebih tinggi dari para pemilih. Masyarakat harus berani menolak segala bentuk politik uang atau janji-janji yang tidak masuk akal dari para kandidat. Politik uang, meskipun dianggap sebagai cara mudah bagi beberapa calon untuk memenangkan hati pemilih, sejatinya merusak tatanan demokrasi dan mengikis kepercayaan publik terhadap proses pemilu itu sendiri.
Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi angka golput dan memastikan bahwa masyarakat aktif berpartisipasi dalam Pilkada. Pertama, edukasi politik perlu ditingkatkan. Banyak masyarakat yang golput karena merasa tidak memiliki informasi yang cukup tentang calon-calon yang bersaing atau karena mereka merasa tidak paham dengan proses pemilihan itu sendiri. Melalui program-program edukasi politik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh organisasi masyarakat sipil, masyarakat dapat diberikan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya partisipasi mereka dalam Pilkada.
Kedua, aksesibilitas pemungutan suara harus diperhatikan. Beberapa masyarakat, terutama yang tinggal di daerah-daerah terpencil, mungkin mengalami kesulitan untuk datang ke tempat pemungutan suara. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa proses pemungutan suara dapat diakses oleh semua warga negara, misalnya dengan menyediakan tempat pemungutan suara yang mudah dijangkau atau memberikan opsi pemungutan suara melalui metode lain yang lebih praktis.
Ketiga, peran media massa dalam menyosialisasikan Pilkada dan para kandidat juga sangat penting. Media dapat berperan dalam memberikan informasi yang objektif dan berimbang tentang para calon kepala daerah, sehingga masyarakat memiliki gambaran yang jelas tentang siapa yang pantas mereka pilih. Selain itu, media juga dapat menjadi sarana untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya menggunakan hak pilih mereka dan dampak negatif dari golput.
Selain itu, pemuda juga dapat berperan sebagai pengawas independen dalam proses Pilkada. Mereka bisa bergabung dengan kelompok-kelompok pemantau pemilu atau membentuk komunitas-komunitas kecil yang berfungsi untuk mengawasi jalannya Pilkada di lingkungan mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka bisa ikut memastikan bahwa proses Pilkada berjalan dengan jujur dan adil.
)* Penulis adalah tim redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ideas