PPN 12% Kunci Sukses Pemerataan Ekonomi

Oleh: Merry Silalahi *)

Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), adalah langkah strategis pemerintah untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan pemerataan ekonomi. Meski kebijakan ini memicu berbagai pandangan di tengah masyarakat, penting untuk menempatkan fokus pada manfaat yang diharapkan bagi negara dan seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai salah satu pilar utama penerimaan negara, pajak memiliki peran vital dalam menopang beragam program pemerintah, termasuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Berdasarkan target pemerintah, pendapatan negara pada tahun 2025 diproyeksikan mencapai Rp2.996,9 triliun, dengan kontribusi pajak sebesar 80 persen dari total tersebut. Dari sudut pandang ini, peningkatan PPN menjadi 12 persen menjadi bagian integral untuk mencapai tujuan tersebut. Langkah ini bukan hanya soal menaikkan angka, tetapi juga merupakan kebijakan strategis untuk memastikan bahwa kebutuhan pembangunan nasional dapat dibiayai secara mandiri dan berkelanjutan.

Sebagaimana diketahui, PPN dikenakan pada setiap transaksi barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Kenaikan tarif ini tentu memiliki implikasi langsung pada biaya produksi dan harga jual barang, terutama di sektor mikro. Beberapa pihak menyampaikan kekhawatiran bahwa tambahan beban ini dapat mengurangi profitabilitas pelaku usaha kecil dan memengaruhi daya beli masyarakat. Namun, pemerintah telah menyusun kebijakan yang mengedepankan perlindungan terhadap kelompok rentan. Sektor-sektor strategis seperti kesehatan, pendidikan, bahan pokok, transportasi, dan sosial dikecualikan dari kenaikan PPN. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan penerimaan negara dan kesejahteraan rakyat.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, menegaskan bahwa kebijakan tersebut telah melalui kajian mendalam yang melibatkan berbagai pihak, termasuk DPR RI, akademisi, dan praktisi.

Di sisi lain, penting untuk memahami bahwa dampak kebijakan ini juga bergantung pada bagaimana implementasi dan edukasi terhadap masyarakat dilakukan. Edukasi yang masif diperlukan agar publik memahami bahwa kenaikan tarif PPN ini tidak semata-mata demi meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga bertujuan menciptakan pemerataan ekonomi.

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Nasdem, Thoriq Majiddanor menyoroti pentingnya kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pelaku usaha dan pakar, untuk menjelaskan manfaat kebijakan ini secara menyeluruh. Sosialisasi yang melibatkan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) diharapkan dapat meluruskan pandangan negatif yang berkembang di tengah masyarakat.

Kenaikan PPN juga diharapkan memberikan kontribusi signifikan dalam mengurangi ketimpangan ekonomi di Indonesia. Dana yang terkumpul dari kebijakan ini dapat diarahkan untuk program pembangunan di daerah-daerah tertinggal. Dengan pemerataan pembangunan, akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja akan meningkat, sehingga tercipta siklus ekonomi yang lebih inklusif. Dalam konteks ini, kebijakan PPN 12 persen menjadi lebih dari sekadar angka dalam sistem perpajakan; ia adalah instrumen untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang lebih adil dan merata.

Namun, tidak dapat disangkal bahwa tantangan akan muncul, terutama bagi sektor tertentu seperti perkebunan sawit. Beban tambahan akibat PPN ini berpotensi dirasakan oleh petani kecil yang tidak memiliki legalitas sebagai PKP. Dalam konteks ini, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat ME Manurung, mengusulkan agar pemerintah mengambil langkah strategis untuk memastikan harga tandan buah segar (TBS) tetap stabil. Usulan ini relevan karena menjaga stabilitas harga dapat membantu petani menanggung beban pajak tanpa merugikan kesejahteraan mereka secara signifikan.

Penting juga untuk melihat kenaikan PPN dari perspektif global. Banyak negara maju yang memberlakukan tarif pajak konsumsi lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa tarif PPN Indonesia yang baru masih kompetitif di kawasan regional dan internasional. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan melemahkan daya saing ekonomi nasional dapat diredam dengan pengelolaan yang tepat dan komunikasi kebijakan yang efektif.

Lebih jauh, langkah ini juga dapat meningkatkan kepatuhan pajak di sektor informal. Dengan sistem yang lebih transparan dan penegakan hukum yang konsisten, penerapan PPN dapat mendorong integrasi sektor informal ke dalam ekonomi formal. Hasilnya, basis pajak yang lebih luas akan tercipta, sehingga ketergantungan pada kelompok tertentu dapat dikurangi. Hal ini menjadi elemen penting dalam menciptakan sistem perpajakan yang adil.

Bagi pemerintah, tantangan utama adalah memastikan bahwa kenaikan tarif ini tidak membebani masyarakat rentan secara berlebihan. Oleh karena itu, pengawasan terhadap implementasi di lapangan harus diperketat. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa tambahan penerimaan yang diperoleh digunakan secara optimal untuk program-program yang benar-benar memberi dampak langsung pada rakyat.

Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah sebuah langkah berani dan visioner yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan perencanaan yang matang dan eksekusi yang tepat, kebijakan ini memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif bagi ekonomi nasional. Langkah ini bukan hanya tentang menciptakan pendapatan tambahan, tetapi juga tentang membangun pondasi yang kokoh bagi masa depan Indonesia. Dengan dukungan penuh dari semua pihak, kebijakan ini dapat menjadi katalisator menuju pemerataan ekonomi yang sesungguhnya.

*) Pengamat Ekonomi dari Tirta Pundi Institute

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *