Oleh: Steven Haryono *)
Kebijakan proteksionis dari Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump, dengan penerapan tarif impor yang tinggi, menjadi tantangan tersendiri bagi banyak negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Alih-alih sekadar merespons kebijakan tersebut dengan retorika politik, pemerintah Indonesia mengambil pendekatan strategis dan konstruktif melalui langkah diversifikasi pasokan energi. Pendekatan ini tidak hanya berfungsi sebagai tameng terhadap gejolak eksternal, tetapi juga sebagai fondasi jangka panjang untuk memperkuat kemandirian energi nasional.
Diversifikasi pasokan energi telah menjadi titik tumpu kebijakan energi Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian global. Dalam konteks ini, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), sebagai Subholding Gas dari Pertamina, memainkan peran vital dengan beragam inisiatif untuk memastikan ketersediaan energi yang berkelanjutan dan terjangkau. Salah satu langkah menonjol adalah pengembangan synthetic natural gas (SNG) berbasis batu bara berkalori rendah yang belum termanfaatkan secara optimal. Kolaborasi PGN dengan PT Bukit Asam Tbk dalam proyek ini mencerminkan respons konkret terhadap kebutuhan diversifikasi energi nasional.
Pemanfaatan batu bara kalori rendah untuk memproduksi gas sintetis bukan semata-mata terobosan teknologi, tetapi juga upaya strategis dalam memanfaatkan sumber daya domestik yang selama ini kurang dieksplorasi. Lokasi proyek di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, yang berdekatan dengan jaringan pipa transmisi PGN, menunjukkan bahwa pemerintah berupaya meminimalkan pengeluaran untuk infrastruktur baru. Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN, Rosa Permata Sari, menegaskan bahwa Pendekatan efisien ini mencerminkan pemikiran jangka panjang dalam pengelolaan energi dan mendukung agenda hilirisasi sumber daya alam, sesuai prioritas pemerintah.
Langkah ini sangat penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor gas, terutama mengingat tekanan tarif yang dapat berdampak pada biaya energi dalam negeri. Dengan mengarahkan pasokan SNG ke kawasan industri seperti Jawa Barat yang menghadapi tantangan pasokan, pemerintah juga memperkuat daya saing industri nasional. Dalam jangka panjang, kemampuan untuk menyediakan energi dari sumber dalam negeri akan menjadikan Indonesia lebih tahan terhadap fluktuasi harga dan ketentuan perdagangan global.
Tidak berhenti pada SNG, PGN juga mengembangkan proyek biometana berbasis limbah cair kelapa sawit (POME), bekerja sama dengan konsorsium dari Jepang. Upaya ini tidak hanya menambah keragaman sumber energi, tetapi juga mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam sektor energi nasional. Produksi biogas dari limbah kelapa sawit yang dikompresi menjadi compressed natural gas (CNG) dan didistribusikan ke sektor industri, layanan kesehatan, hingga pusat perbelanjaan menjadi bukti nyata bahwa energi bersih bukan sekadar wacana.
Dalam konteks ekonomi global yang dipenuhi ketidakpastian, langkah semacam ini merupakan bentuk nyata kesiapan pemerintah menghadapi dinamika eksternal. Proyek biometana ini juga menegaskan bahwa Indonesia tidak hanya bertumpu pada bahan bakar fosil, tetapi aktif dalam mengembangkan sumber energi rendah karbon yang mendukung target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Strategi ini memberikan manfaat ganda: menjaga ketahanan energi sekaligus memperkuat komitmen terhadap agenda lingkungan global.
Di sisi lain, PGN menunjukkan kinerja operasional yang solid dan berkelanjutan. Pada tahun 2024, perusahaan ini berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29.723 ton CO₂, jauh melampaui target awal sebesar 1.205 ton CO₂. Group Head Corporate Strategy and Sustainability PGN, Siti Nurmaya Rahmayani, menyebutkan keberhasilan ini tidak hanya menunjukkan efisiensi operasional, tetapi juga kontribusi langsung terhadap pencapaian emisi nasional yang lebih rendah. Penggunaan gas bumi sebagai energi transisi telah menyumbang penurunan emisi nasional hingga 6,6 juta ton CO₂ secara kumulatif.
Pemerintah pun memberikan dukungan penuh terhadap upaya-upaya semacam ini, yang dianggap selaras dengan visi pembangunan jangka panjang. Dalam hal efisiensi energi, PGN mencatat penurunan intensitas energi sebesar 14% dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi 2,22 GJ/MMSCF. Ini menunjukkan bahwa efisiensi bukan hanya slogan, melainkan hasil dari inovasi dan konsistensi dalam pengelolaan operasional.
Langkah diversifikasi dan keberlanjutan tersebut juga membuahkan hasil dalam kepercayaan pasar. Saham PGN (PGAS) mencatat penguatan signifikan hingga menyentuh level tertinggi tahunan, dipicu oleh antusiasme investor terhadap arah kebijakan dan proyek strategis yang dijalankan. Penguatan saham ini mencerminkan keyakinan publik dan pelaku pasar terhadap kemampuan Indonesia dalam membangun kemandirian energi yang tangguh. Di tengah tekanan eksternal seperti tarif impor, respons pasar yang positif terhadap PGAS menjadi sinyal kuat bahwa strategi pemerintah berada di jalur yang tepat.
Dengan memperkuat kerja sama lintas sektor dan mendorong transformasi energi dari hulu ke hilir, Indonesia menunjukkan kepemimpinan yang tegas dan adaptif dalam menghadapi tantangan global. Strategi ini bukan hanya untuk menjawab tekanan sesaat, tetapi dirancang sebagai fondasi ketahanan energi yang berkelanjutan. Selain itu, pendekatan ini selaras dengan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG), di mana PGN berhasil menurunkan skor ESG Risk Rating menjadi 20,2 dari sebelumnya 24,7 yang mengindikasikan risiko lebih rendah atas tata kelola yang semakin baik.
Langkah pemerintah dalam menghadapi dampak tarif impor AS, terutama dari kebijakan Trump, tidak dilakukan secara reaktif, tetapi melalui pendekatan progresif dan sistematis. Diversifikasi pasokan energi menjadi instrumen kunci dalam memperkuat daya tahan nasional dan menjaga keberlanjutan pembangunan. Dengan menjadikan PGN sebagai motor utama, pemerintah tidak hanya melindungi perekonomian dari tekanan eksternal, tetapi juga mempercepat transformasi menuju masa depan energi yang lebih berdaulat.
*) Pegiat Literasi/ Pengamat Energi Terbarukan