Oleh: Fajar Dwi Santoso )*
Pilkada 2024 semakin dekat, dan sebagai warga negara yang baik, kita perlu bersikap bijak dalam menghadapi berbagai isu yang muncul. Salah satu isu yang sering kali memicu ketegangan adalah politisasi isu agama. Polarisasi dan politisasi isu agama dapat merusak persatuan bangsa dan menciptakan konflik yang tidak perlu.
Polarisasi merujuk pada proses di mana masyarakat terbagi menjadi dua kelompok yang saling bertentangan, sedangkan politisasi adalah upaya untuk menggunakan isu tertentu, dalam hal agama, untuk kepentingan politik. Ketika agama dijadikan alat kepentingan politik, maka akan muncul sikap intoleransi, diskriminasi, dan bahkan kekerasan yang tentu sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa yang beragam seperti Indonesia.
Perbedaan dalam pilihan politik sering kali dimanfaatkan untuk memperburuk hubungan antar kelompok, dan dapat merusak perekat sosial. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keragaman, penting bagi untuk mengutamakan kerukunan agar Pilkada menjadi ajang untuk memperkuat demokrasi, bukan konflik.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surakarta, Muhammad Mashuri mengingatkan bahwa pelaksanaan Pilkada harus berlangsung dalam suasana damai, bebas dari politik identitas yang sering kali memicu polarisasi.
Calon pemimpin harus berkomitmen untuk tidak mengeksploitasi isu identitas demi meraih dukungan. Fokus pada visi dan program yang relevan dengan kepentingan masyarakat jauh lebih konstruktif. Masyarakat pun harus bersikap kritis terhadap informasi yang beredar, menyaring narasi yang bisa memicu kebencian dan konflik.
Tokoh agama memiliki peran penting dalam meredam ketegangan dengan menjadi mediator dalam dialog antar kelompok, membantu membangun pemahaman dan saling menghargai. Keterlibatan masyarakat sipil juga sangat vital, organisasi non-pemerintah perlu terus memfasilitasi diskusi lintas agama dan budaya untuk memperkuat jaringan sosial.
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam penggunaan isu agama untuk kepentingan politik. Dalam beberapa Pilkada sebelumnya, dapat disaksikan bagaimana isu agama dimanipulasi untuk menggiring opini publik, menimbulkan polarisasi, dan merusak hubungan antarkelompok yang berimbas pada penciptaan iklim ketidakpercayaan dan kebencian di antara masyarakat. Pengalaman ini seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Ketua Umum MUI Jombang, KH. Afifuddin Dimyati, menekankan pentingnya persaudaraan dan silaturahim di antara sesama muslim dan warga bangsa menjelang Pilkada Serentak pada 27 November 2024. Dalam konteks pemilihan umum, pernyataannya sangat relevan, mengingat potensi perpecahan yang sering kali muncul akibat perbedaan pilihan.
Sebagai masyarakat, kita harus menolak politik identitas yang bisa memperburuk perpecahan. Sebaliknya, mari fokus pada nilai-nilai yang menyatukan kita sebagai satu bangsa. Dalam konteks ini, pernyataan Afifuddin menjadi pengingat yang penting untuk menjalankan Pilkada dengan semangat persaudaraan dan silaturahim, demi menciptakan Indonesia yang lebih harmonis dan sejahtera.
Kapolresta Madiun, AKBP Agus Dwi Suryanto juga mengatakan mengenai pelaksanaan Pilkada 2024 yang semakin dekat dan perlunya kesiapan menghadapi dinamika politik yang tinggi adalah sebuah pengingat yang krusial. Dalam konteks politik Indonesia, terutama menjelang pemilihan umum, tantangan seperti polarisasi sosial, politisasi agama, dan potensi konflik antar pendukung memang patut diwaspadai.
Harapan AKBP Agus Dwi agar situasi tetap aman, tertib, dan kondusif adalah aspirasi yang harus didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Untuk mewujudkan situasi ini, perlu ada kolaborasi antara pihak kepolisian, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil. Namun, keberhasilan menjaga ketertiban tidak semata-mata bergantung pada aparat keamanan, masyarakat juga harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman.
Kesadaran kolektif dan kedewasaan politik sangat penting dalam menghadapi pemilihan umum. Masyarakat harus mampu menyaring informasi dan tidak terjebak dalam narasi yang menghasut kebencian atau memecah belah. Pendidikan politik dan diskusi terbuka perlu digalakkan agar masyarakat memahami pentingnya persatuan dalam perbedaan.
Media juga memiliki tanggung jawab besar dalam mencegah polarisasi. Dalam era informasi saat ini, media sosial dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menyebarkan pesan perdamaian dan toleransi. Namun, media juga dapat menjadi pemicu polarisasi jika tidak berhati-hati dalam menyampaikan informasi. Oleh karena itu, penting bagi jurnalis dan content creator untuk memverifikasi informasi sebelum membagikannya serta menghindari sensasionalismeyang dapat memperburuk situasi.
Para pemimpin politik dan masyarakat juga harus bertindak proaktif dalam menghindari polarisasi dengan menyampaikan pesan-pesan yang mengedepankan persatuan dan menghargai perbedaan, bukan sebaliknya. Dalam setiap kampanye, penting untuk menekankan program dan visi yang positif, bukan menyerang lawan politik dengan menggunakan isu agama. Dengan demikian, para pemimpin dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.
Pilkada 2024 merupakan momentum penting bagi bangsa Indonesia. Kita memiliki tanggung jawab kolektif untuk menjaga persatuan dan menghindari polarisasi serta politisasi isu agama. Melalui dialog, edukasi, dan tindakan proaktif dari semua pihak, kita dapat menciptakan iklim yang kondusif untuk pelaksanaan pilkada yang damai. Mari utamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan politik sesaat, agar Indonesia tetap menjadi rumah yang nyaman dan aman bagi semua.
)* Penulis merupakan Pengamat Politik Nasional – Forum Politik Mandala Raya