Oleh: Nana Sukmawati )*
Hilirisasi sawit menjadi salah satu sektor strategis yang berperan dalam percepatan swasembada pangan dan energi di Indonesia. Pemerintah telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang didukung oleh penguatan sektor hilir sawit. Para pelaku industri pun menyambut baik langkah ini sebagai upaya meningkatkan daya saing global dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Dua aspek utama yang menjadi kunci dalam industri hilir sawit adalah optimalisasi kerja sama internasional, termasuk BRICS, serta peningkatan investasi di sektor hilirisasi. Indonesia yang resmi menjadi anggota ke-10 BRICS, memiliki peluang besar untuk memperluas ekspor produk sawit tanpa hambatan dagang di dalam kelompok tersebut.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), Rapolo Hutabarat, mengatakan bahwa kerja sama ekonomi bilateral Indonesia dengan berbagai negara masih kurang memanfaatkan potensi produk sawit secara maksimal. Beberapa insentif yang tersedia belum sepenuhnya dikenal oleh dunia usaha di dalam negeri, sehingga perlu sosialisasi lebih lanjut.
Menurutnya, keanggotaan Indonesia di BRICS dapat menjadi daya tarik bagi investasi di sektor hilirisasi sawit. Dengan populasi BRICS yang mencapai 3,9 miliar jiwa atau 48 persen dari total populasi dunia, Indonesia memiliki pasar yang sangat besar untuk produk turunannya. Hal ini harus dimanfaatkan dengan optimal agar industri sawit dalam negeri bisa berkembang lebih jauh.
Lebih lanjut, Rapolo menegaskan bahwa pengembangan produk bernilai tambah dari sawit seperti fitonutrien, betakaroten, tokoferol, dan tokotrienol masih belum dimaksimalkan. Padahal, dalam tiga tahun terakhir, pangsa pasar produk tersebut mencapai US$10 miliar. Potensi ini bahkan bisa meningkat hingga US$15 miliar per tahun, setara dengan 50 persen dari total ekspor sawit Indonesia yang mencapai US$30 miliar.
Peningkatan investasi di sektor hilirisasi juga harus didukung oleh insentif pemerintah serta alih teknologi yang memungkinkan industri dalam negeri memproduksi produk-produk bernilai tinggi. Hilirisasi juga perlu diperluas ke sektor biomassa sawit yang masih belum digarap secara optimal, padahal memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesuburan tanah dan mendukung industri pertanian secara keseluruhan.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengatakan pentingnya kepastian regulasi dalam industri sawit nasional. Dia menyoroti Perpres 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang dikhawatirkan dapat menghambat industri sawit dan sektor terkait yang bergantung pada pemanfaatan lahan.
Menurut Sahat, jika ada perusahaan yang operasionalnya berada di luar Hak Guna Usaha (HGU), sebaiknya pemerintah menyelesaikan persoalan administrasi tanpa menimbulkan ketidakpastian hukum. Kejelasan regulasi menjadi krusial agar iklim investasi tetap kondusif dan mendukung pertumbuhan industri sawit di dalam negeri.
Dia juga mengusulkan agar program Minyakita dihentikan karena dinilai menimbulkan dualisme harga dalam satu jenis produk. Sahat menyarankan agar subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu dilakukan melalui skema yang lebih terfokus, seperti program dari Kementerian Sosial yang dananya dapat diambil dari levy industri sawit tanpa membebani APBN.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Ernest Gunawan, menegaskan bahwa industri biodiesel telah mendukung program B35 dengan realisasi penyaluran mencapai 13,1 juta KL pada tahun 2024. Untuk mencapai target B50, diperlukan peningkatan kapasitas produksi dari 19,6 juta KL saat ini menjadi sekitar 24-25 juta KL.
Untuk mendukung ekspansi tersebut, investasi tambahan sekitar 4-5 juta KL kapasitas terpasang masih dibutuhkan. Namun, menurut Ernest, investasi ini hanya akan terjadi jika ada jaminan kepastian hukum serta kenyamanan berusaha bagi para investor. Saat ini, masih ada beberapa perusahaan anggota APROBI yang sedang dalam pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung, sehingga kondisi ini perlu segera mendapatkan kejelasan.
Secara keseluruhan, hilirisasi sawit tidak hanya berperan dalam peningkatan ekonomi tetapi juga dalam pencapaian swasembada pangan dan energi. Dengan memanfaatkan potensi produk bernilai tambah tinggi serta memperluas ekspor ke negara-negara BRICS, Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai pemain utama dalam industri sawit global.
Selain itu, penting bagi pemerintah untuk memberikan insentif fiskal dan teknologi guna mempercepat pengembangan industri hilir sawit. Dengan langkah ini, Indonesia tidak hanya akan meningkatkan nilai ekspor tetapi juga menciptakan lapangan kerja serta menekan impor produk pangan dan energi.
Hilirisasi berpotensi meningkatkan ketahanan pangan nasional dengan memanfaatkan produk turunan sawit sebagai bahan baku industri pangan. Dengan demikian, ketergantungan terhadap impor dapat dikurangi secara bertahap.
Selain itu, pengembangan industri biomassa dari kelapa sawit dapat memberikan manfaat ekologis sekaligus ekonomi. Pemanfaatan limbah sawit untuk pupuk organik dan energi terbarukan dapat menjadi solusi dalam mengurangi jejak karbon sekaligus meningkatkan efisiensi sektor perkebunan.
Dalam jangka panjang, hilirisasi sawit dapat menjadikan Indonesia sebagai pusat industri berbasis sawit global. Dengan langkah strategis yang tepat dapat memanfaatkan keunggulan komparatifnya untuk mendominasi pasar dunia.
Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan investor sangat diperlukan untuk mendorong percepatan hilirisasi sawit. Dengan demikian, target swasembada pangan dan energi serta pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan pemerintah dapat tercapai dengan lebih cepat dan berkelanjutan.
)* Penulis adalah mahasiswa Palembang tinggal di Jakarta