Oleh: Silvia AP )*
Dalam konteks demokrasi Indonesia yang semakin matang, penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan dalam memperkuat tatanan politik yang sehat dan inklusif. Upaya bersama yang konsisten diperlukan dalam mendorong agar Pilkada tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik semata, tetapi juga sarana untuk memperkuat persatuan dan kedamaian tanpa diganggu oleh isu-isu sensitif seperti Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
Dalam sejumlah kasus, isu SARA serta politik identitas sering dimanfaatkan untuk mencari keuntungan secara politik. Maraknya isu SARA di pemilihan kepala daerah disebabkan karena lemahnya kaderisasi di tubuh internal partai politik. Kaderisasi tidak berjalan, pemilihan tidak berjalan secara demokratis dan pada akhirnya seringkali menjadi senjata yang memecah belah masyarakat.
Pilkada 2017, Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019 menjadi cermin yang sangat nyata, bagaimana seluruh unsur SARA tersebut terjadi disana. Terjadi polarisasi berbasis irasionalitas politik identitas yang diterjemahkan dalam bentuk kampanye jahat, berita bohong (hoax), fitnah, dan politisasi SARA menguat. Masyarakat hanya melihat, tetapi tidak bisa menghentikan, karena sebagai panutan adalah tokoh masyarakat dan tokoh agama yang semestinya mereka memiliki peran sentral dalam menjaga kondusifivitas situasi saat itu, justru menjadi bagian yang sangat aktif menyuarakan politik identitas.
Dalam Pilkada serentak 2024 hal itu tidak boleh terjadi, karena masyarakat tetap selalu menjadi korban, sementara mereka dengan leluasa menghitung keuntungan secara politik.
Sejarah Pilkada di beberapa daerah mencatat bagaimana narasi berbasis SARA telah digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menggerakkan emosi massa demi mencapai tujuan politik tertentu. Hal ini bukan hanya membahayakan tatanan demokrasi, tetapi juga memicu konflik sosial yang dapat berdampak jangka panjang pada kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan berban.
Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan, Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU Jabar, Hedi Ardia berharap, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 tidak diwarnai narasi-narasi yang dapat menyebabkan perpecahan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Pendidikan politik kepada masyarakat menjadi salah satu aspek penting. Masyarakat harus diberikan pemahaman yang benar tentang pentingnya memilih berdasarkan kapasitas dan integritas kandidat, bukan berdasarkan sentimen agama, suku, atau ras. Pemerintah bersama dengan lembaga-lembaga terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu, telah melakukan sosialisasi masif mengenai bahaya politisasi SARA dalam Pilkada.
Selain itu, media massa dan media sosial berperan perlu terus aktif dalam mencegah penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang sering kali bermuatan SARA. Dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat, media sosial menjadi salah satu platform utama di mana isu-isu sensitif dapat dengan cepat menyebar dan mempengaruhi opini publik.
Selain pemerintah, peran masyarakat sipil dalam mendorong terciptanya Pilkada damai sangatlah penting. Organisasi-organisasi masyarakat, LSM, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para pemuda harus aktif terlibat dalam menjaga kerukunan selama proses Pilkada.
Dalam peristiwa politik yang bersamaan yakni pelantikan Presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto akan dilaksanakan pada 20 Oktober 2024. Dalam waktu yang berdekatan tanggal 27 November 2024 Indonesia akan melaksanakan Pilkada Serentak Pilkada Serentak. Pilkada Serentak 2024 akan diikuti sebanyak 37 provinsi, kemudian 508 kabupaten/kota.
Menyikapi “hajatan nasional” Presiden Jokowi mengerahkan TNI-Polri menjaga stabilitas keamanan. Dalam masa transisi Presiden menegaskan bahwa TNI dan Polri harus memastikan kelancaran transisi pemerintahan dari pemerintahan lama ke pemerintahan baru. TNI dan Polri juga diminta untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang berpotensi mengganggu proses transisi pemerintahan maupun Pilkada Serentak 2024.
Badan Pengawas Pemilu RI mengajak para kepala daerah untuk menjaga netralitas aparatur sipil negara saat Pilkada 2024 sudah memasuki tahapan penetapan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah, mengingatkan banyaknya calon dari kepala daerah.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menyampaikan bahwa terdapat tiga titik kerawanan pada tahapan Pilkada yang perlu diantisipasi oleh para kepala daerah maupun penyelenggara pemilu, yakni tahapan pendaftaran, kampanye, serta pemungutan dan penghitungan suara. Oleh karena itu koordinasi antara pemerintah daerah dan penyelenggara pemilu tetap dibutuhkan, meskipun Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan juga sudah menyelenggarakan rapat koordinasi nasional membahas kerawanan Pilkada hingga enam kali.
Melalui upaya kolektif dari pemerintah, masyarakat sipil, media, dan semua elemen bangsa, harapan untuk mewujudkan Pilkada damai tanpa isu SARA semakin nyata. Pilkada yang damai bukan hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas, tetapi juga akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam jangka panjang.
Pada akhirnya, Pilkada damai tanpa isu SARA bukan hanya tentang pemilihan kepala daerah, tetapi tentang masa depan Indonesia sebagai negara yang kuat, demokratis, dan harmonis. Dengan menjaga demokrasi yang sehat dan inklusif, Indonesia dapat terus tumbuh menjadi bangsa yang berdaya saing, sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa.
)* Penulis adalah tim redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ideas