Oleh: Rissa Cahya Insani )*
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Indonesia diharapkan menjadi momentum penting dalam memperkuat demokrasi dan partisipasi masyarakat. Namun, di tengah antusiasme dan semangat politik yang tinggi, terdapat tantangan besar yang perlu dihadapi, yakni potensi penggunaan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dalam kampanye. Isu SARA, jika tidak diwaspadai, dapat memicu ketegangan sosial dan perpecahan di tengah masyarakat yang majemuk. Dengan sejarah panjang konflik yang sering dipicu oleh perbedaan identitas, penting bagi semua pihak dari calon pemimpin hingga masyarakat untuk bersama-sama mengedepankan nilai-nilai persatuan dan keharmonisan.
Adanya perbedaan latar belakang dari calon pemimpin menuntut komitmen untuk menciptakan suasana politik yang sehat, di mana pemilih dapat memilih berdasarkan kapasitas, integritas, dan visi calon, bukan berdasarkan identitas yang dapat memecah belah. Langkah preventif perlu diambil untuk memastikan bahwa kampanye tidak diselimuti oleh provokasi yang dapat merusak kedamaian dan stabilitas. Melalui edukasi, sosialisasi, dan kerjasama antara berbagai elemen masyarakat, diharapkan Pilkada 2024 dapat berlangsung damai dan produktif, mencerminkan semangat demokrasi yang sesungguhnya.
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, menegaskan penggunaan isu SARA tetap menjadi ancaman nyata di Pilkada 2024. Menurutnya, penyebaran isu sensitif ini semakin mudah melalui media sosial, di mana ujaran kebencian dan provokasi dapat menyebar dengan cepat. Daerah-daerah dengan potensi konflik yang tinggi, seperti Papua dan Madura, menjadi fokus utama pengawasan Bawaslu untuk mencegah terjadinya perpecahan akibat kampanye yang mengangkat isu SARA.
Dalam rangka mencegah semakin maraknya isu SARA pada Pilkada 2024, Rahmat Bagja memaparkan sejumlah strategi yang akan dilaksanakan oleh Bawaslu. Salah satu langkah penting adalah membangun gerakan bersama dengan tokoh lintas agama untuk mendeklarasikan anti-politik SARA. Gerakan ini melibatkan tokoh-tokoh dari berbagai agama di Indonesia, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, serta aliran kepercayaan. Melalui deklarasi ini, diharapkan peserta Pilkada maupun masyarakat tidak terjebak dalam kampanye yang menggunakan isu SARA sebagai alat untuk memecah belah.
Selain deklarasi anti-politik SARA tersebut, Bawaslu juga berencana menerbitkan buku panduan tentang pengawasan partisipatif dari perspektif agama. Buku ini akan menjadi rujukan bagi masyarakat dalam mengawasi Pilkada, sekaligus memperkuat pemahaman tentang pentingnya menjaga toleransi dan kerukunan antaragama selama proses Pilkada. Bawaslu juga akan menggelar festival pengawasan lintas iman, yang bertujuan untuk memperkuat solidaritas antaragama dalam menjaga keberlangsungan demokrasi.
Dalam mengawasi tahapan Pilkada 2024, Bawaslu bertekad untuk bertindak lebih proaktif dan responsif terhadap setiap laporan pelanggaran yang terjadi. Bawaslu akan bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, kepolisian, dan organisasi masyarakat, untuk memperkuat pengawasan di semua tahapan Pilkada. Komunikasi yang intensif akan dibangun dengan semua pihak terkait guna memastikan bahwa Pilkada berjalan dengan aman, adil, dan bebas dari kampanye hitam berbasis SARA.
Bawaslu RI berkomitmen untuk memastikan Pilkada 2024 berjalan dengan lancar, jujur, dan adil. Bagja menegaskan bahwa Bawaslu akan memperkuat pengawasan di seluruh tahapan Pilkada dengan merancang kalender pengawasan dan alat kerja yang efektif. Pengawasan ini bertujuan untuk mencegah setiap bentuk pelanggaran, termasuk penggunaan isu SARA dalam kampanye.
Sementara itu, di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Ketua Bawaslu Babel, EM Osykar, memperingatkan bahwa isu SARA mulai muncul dalam interaksi masyarakat, khususnya dalam percakapan sehari-hari di warung-warung kopi. Dengan populasi yang terdiri dari berbagai etnis, Bangka Belitung memiliki kerentanan terhadap penyalahgunaan isu SARA. Oleh karena itu, pihaknya menggandeng berbagai elemen masyarakat, seperti tokoh agama, tokoh adat, dan budayawan, untuk bersama-sama mencegah penyebaran isu ini menjelang Pilkada.
Bawaslu Kepulauan Bangka Belitung telah bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk tokoh agama dan budaya, untuk menangkal penyebaran isu SARA di wilayah tersebut. Melalui kolaborasi ini, diharapkan suasana Pilkada di Bangka Belitung dapat berlangsung damai tanpa terpengaruh oleh provokasi identitas.
Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Institute Kajian Pertahanan dan Intelijen Indonesia (IKAPII), Fauka Noor mengatakan para pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada Jakarta 2024 untuk tidak mengumbar isu SARA saat berkampanye. Penggunaan isu SARA dalam Pilkada berisiko memecah persatuan dan menjadikan masyarakat sebagai korbannya.
Dalam menghadapi Pilkada 2024, penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga kedamaian dan keharmonisan. Pilkada adalah ajang demokrasi yang seharusnya mendorong persatuan, bukan menjadi alat untuk memecah belah. Setiap individu, baik politisi, pemilih, media, maupun lembaga penyelenggara Pilkada, memiliki tanggung jawab yang sama untuk menghindari kampanye bermuatan SARA.
Dengan menghindari kampanye yang bermuatan SARA, masyarakat Indonesia dapat menjaga keutuhan bangsa dan memastikan bahwa Pilkada 2024 berlangsung dengan aman, adil, dan bermartabat. Kerja sama dan komitmen dari semua pihak akan menjadi kunci keberhasilan dalam mewujudkan Pilkada yang damai dan bebas dari konflik. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat menjadikan Pilkada 2024 sebagai momentum yang memperkuat fondasi demokrasi dan persatuan di tengah keberagaman.
)* Pengamat Politik Dalam Negeri