Oleh : Andika Pratama )*
Undang-Undang (UU) Cipta Kerja merupakan terobosan hukum yang tujuan utama dari undang-undang ini adalah untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan dalam proses perizinan berusaha. Ini dilakukan melalui perubahan paradigma dan konsepsi perizinan, yang berfokus pada penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Risk Based Approach).
Perubahan signifikan yang diusung oleh UU Cipta Kerja adalah pengalihan pendekatan perizinan dari berbasis izin (license base) ke berbasis risiko (risk based). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa pendekatan ini bertujuan untuk mengurangi beban administrasi dan birokrasi yang seringkali menjadi penghambat utama dalam proses perizinan.
Dengan pendekatan berbasis risiko, pengawasan lebih difokuskan pada pelaksanaan kegiatan usaha untuk memastikan bahwa standar dan persyaratan dipenuhi. Hal ini mengurangi fokus pada pemenuhan persyaratan administrasi yang kerap kali membebani pelaku usaha. Jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran, sanksi akan dikenakan secara ketat berdasarkan hasil pengawasan tersebut.
Salah satu inovasi penting dalam UU Cipta Kerja adalah pengenalan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) yang mengatur jenis perizinan, standar, syarat, prosedur, dan jangka waktu penyelesaian perizinan. NSPK ini ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan berlaku secara nasional, baik di pusat maupun di daerah. Hal ini memastikan keseragaman dalam proses perizinan di seluruh wilayah Indonesia, sehingga mengurangi potensi terjadinya penyimpangan atau ketidakpastian hukum.
Berbagai perubahan yang diterapkan dalam UU Cipta Kerja telah mendapatkan apresiasi dari lembaga internasional seperti World Bank, Fitch Ratings, dan Moody’s. Reformasi ini dianggap sebagai langkah besar yang meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional dan domestik. Menko Airlangga menekankan bahwa perubahan ini tidak hanya berdampak pada peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, tetapi juga pada kepastian perlindungan pekerja.
Penerapan UU Cipta Kerja telah sejalan dengan perkembangan dan peran hukum dalam pembangunan nasional, terutama yang berkaitan dengan perekonomian dan penciptaan lapangan kerja. Menurut para ahli hukum, hukum dapat berperan maksimal dalam pembangunan ekonomi apabila dapat menciptakan fungsi stability, predictability, dan fairness. Ini berarti bahwa hukum harus mampu memberikan stabilitas, kepastian, dan keadilan dalam menjalankan kegiatan ekonomi.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Laoly, menegaskan bahwa UU Cipta Kerja berupaya melakukan penataan ulang terhadap pengenaan sanksi dalam berbagai UU sektor yang menerapkan sanksi pidana terhadap penyimpangan administratif. Penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan administratif dikenakan sanksi administratif terlebih dahulu. Namun, jika sanksi administratif tidak dapat dijalankan, maka sanksi pidana menjadi pilihan untuk penegakan hukum. Pelanggaran yang menimbulkan akibat terhadap Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan (K3L) tetap dikenakan sanksi pidana.
Pengaturan pengenaan sanksi tidak hanya berlaku untuk masyarakat atau pelaku usaha, tetapi juga untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tidak memberikan atau melaksanakan pelayanan perizinan berusaha sesuai dengan NSPK. ASN yang tidak melaksanakan fungsi pengawasan dan pembinaan sesuai ketentuan juga akan dikenakan sanksi.
Satgas UU Cipta Kerja terus mengadakan berbagai langkah strategis untuk mengakselerasi transformasi birokrasi perizinan berusaha. Salah satu upaya yang sering dilakukan adalah menggelar workshop dan coaching clinic bagi kalangan UMKM. Tujuannya adalah untuk mempermudah izin usaha agar lebih mudah, cepat, dan pasti.
Wakil Ketua III Satgas UU Cipta Kerja, Raden Pardede menekankan bahwa Indonesia perlu upaya luar biasa untuk keluar dari middle income trap dan menjadi negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi. Dalam hal ini, kemudahan perizinan usaha menjadi salah satu fokus utama agar izin usaha bisa lebih mudah dan cepat, sesuai dengan filosofi UU Cipta Kerja.
Ketua Pokja Sinergi Substansi Sosialisasi Satgas UU Cipta Kerja, Tina Talisa mengungkapkan bahwa total Nomor Induk Berusaha (NIB) yang telah diterbitkan mencapai 10 juta per 7 Juni 2024. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dalam pendaftaran usaha, yang mayoritas didominasi oleh usaha mikro. Ini mencerminkan bahwa kemudahan berusaha semakin terasa dengan proses pembuatan NIB yang lebih mudah.
UU Cipta Kerja memberikan kepastian hukum dalam berusaha melalui berbagai perubahan paradigma dan konsepsi perizinan. Penerapan perizinan berbasis risiko, pengenalan NSPK, dan penataan ulang sanksi merupakan beberapa langkah yang diambil untuk menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Dukungan internasional dan peningkatan pendaftaran usaha menjadi indikator positif bahwa reformasi ini berjalan ke arah yang diharapkan. Namun, implementasi yang konsisten dan keberlanjutan pengawasan tetap menjadi kunci utama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Masyarakat mendukung UU Cipta Kerja karena memberikan kepastian hukum dalam berusaha melalui perubahan paradigma perizinan, pengenalan NSPK, dan penataan ulang sanksi. Dukungan dari kalangan usaha, terutama UMKM, serta apresiasi dari komunitas internasional menunjukkan bahwa reformasi ini berjalan ke arah yang diharapkan. Dengan implementasi yang konsisten dan keberlanjutan pengawasan, UU Cipta Kerja diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif, meningkatkan daya saing Indonesia, dan pada akhirnya, membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
)* Penulis adalah Kontributor Jabartrigger.com