Satu Tahun Prabowo-Gibran Hadirkan Petani Sejahtera dan Pangan Mandiri di Berbagai Wilayah

Oleh: Hana Widya Saraswati

Memasuki tahun pertama kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, ada gelagat positif yang makin nyata di tanah air: kesejahteraan petani makin diperhatikan, dan target swasembada pangan bukan sekadar angin lalu, tapi mulai terlihat wujudnya di berbagai wilayah. Dari Sabang sampai Merauke, lahan pertanian tidak cuma dijaga produktivitasnya, tetapi juga diarahkan agar lebih mandiri secara produksi, lebih modern dalam pengelolaan, dan lebih adil di distribusi hasilnya.

Salah satu indikator paling menonjol adalah produksi beras nasional. Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan) Zulkifli Hasan mengatakan bahwa Indonesia telah berhasil mencapai swasembada di sektor beras. Produksi beras dari Januari sampai November 2025 diperkirakan mencapai sekitar 33,19 juta ton, meningkat sekitar 12,62 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Surplus yang diperoleh—diperkirakan 4 sampai 5 juta ton—tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, tapi memberi ruang bagi stabilitas pasokan dan harga.  Stok beras nasional yang sekarang tercatat di atas 4 juta ton menunjukkan angka tertinggi dalam sejarah Republik ini.

Tak kalah penting, langkah‐langkah sistemik yang diambil pemerintah dalam memperkuat fondasi pertanian turut mengangkat derajat petani. Distribusi alat dan mesin pertanian (alsintan) kepada petani, perbaikan sistem irigasi, distribusi pupuk yang lebih lancar, serta regulasi yang disederhanakan menjadi bagian dari paket kebijakan yang memberi dampak langsung bagi sawah dan ladang di berbagai daerah. Kebijakan‐kebijakan tersebut bukan saja mempermudah proses produksi, tapi juga menekan biaya produksi dan risiko kegagalan panen akibat kendala teknis dan iklim.

Swasembada pangan tidak hanya diukur dari beras saja. Pemerintah menegaskan bahwa selain beras, komoditas lain seperti jagung dan gula konsumsi juga menunjukkan tren produksi yang menggembirakan.  Misalnya, program‐program ekstensifikasi lahan dan optimalisasi lahan tidur serta pembentukan kawasan pangan menjadi faktor penopang bahwa pasokan pangan tidak lagi terpusat di wilayah—tetapi mulai merata ke daerah‐daerah yang sebelumnya kurang dioptimalkan.

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) sekaligus Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman mengatakan swasembada pangan kini mulai terwujud setelah beberapa pulau yang sebelumnya bergantung pasokan antarwilayah, kini sudah mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri seperti wilayah Kalimantan yang dulunya mendatangkan beras dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, kini telah berhasil mencapai swasembada beras.

Di sisi kesejahteraan petani, keberpihakan tampak jelas. Peningkatan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen, perbaikan sarana produksi seperti irigasi dan pupuk, perbaikan regulasi agar tidak menyulitkan petani, serta pemangkasan perantara yang selama ini memang menjadi salah satu hambatan dalam memperoleh hasil yang adil bagi petani.  Ketika harga gabah lebih stabil, ketika pupuk tersedia tepat waktu dan tidak terhambat birokrasi, petani mendapatkan kepastian pendapatan yang lebih baik—ini sangat krusial dalam memelihara motivasi untuk tetap bertani dan meningkatkan produktivitas lahan.

Wilayah‐wilayah seperti di Papua Selatan (khususnya lewat kawasan Proyek Strategis Nasional Wanam), juga menjadi contoh nyata bahwa daerah‐daerah selama ini belum dianggap sebagai pusat produksi besar pangan, mulai diperhitungkan dalam rencana cetak sawah dan pembukaan lahan baru.  Tak hanya pembukaan lahan, tetapi juga perbaikan infrastruktur pendukung seperti saluran irigasi dan akses tenaga kerja, alat produksi, serta sarana distribusi pangan. Di banyak daerah, petani mulai merasakan bahwa mereka tidak tinggal di pinggir kebijakan—melainkan menjadi bagian dari pusat pembangunan pangan nasional.

Program makanan bergizi gratis juga menjadi bagian dari strategi yang lebih besar, bukan hanya untuk menanggulangi kekurangan gizi dan stunting, tapi juga sebagai stimulus bagi petani dan usaha pangan lokal. Dengan melibatkan petani dan UMKM dalam penyediaan bahan pangan lokal untuk program tersebut, rantai produksi pangan menjadi lebih pendek dan keuntungan bisa sampai lebih adil ke akar rumput.

Secara keseluruhan, satu tahun Prabowo–Gibran menunjukkan bahwa visi “petani sejahtera dan Indonesia mandiri dalam pangan” bukan hanya slogan, melainkan arah kebijakan yang steadily dikerjakan, dengan capaian‐capaian yang makin real di lapangan. Desa‐desa yang sebelumnya kesulitan mendapatkan pupuk atau mesin panen, kini lebih mudah mendapat akses. Sawah‐sawah yang tadinya kekeringan karena irigasi buruk, kini dibantu pembenahan kanal dan sistem irigasi. Pasar‐pasar lokal yang dulu tergantung pada rantai panjang distribusi, sekarang dimanjakan dengan stabilisasi harga dan ketersediaan stok.

Ke depan, tantangan terbesar adalah menjaga momentum ini agar tidak terhenti, agar distribusi manfaat sampai ke petani‐petani kecil di daerah terpencil, agar kebijakan tetap berorientasi pemberdayaan, dan agar swasembada pangan tidak hanya terfokus pada satu komoditas saja, melainkan merata ke jagung, gula, kedelai, daging, dan komoditas pangan lainnya.

Dengan demikian, setahun Prabowo–Gibran memang menjadi babak baru yang memancarkan sinar optimisme bagi petani dan ketahanan pangan Indonesia. Jika semua pihak—pemerintah pusat, pemerintah daerah, petani, pelaku usaha pertanian dan masyarakat pendukung—terus menjaga kerja sama dan konsistensi, swasembada pangan bukan lagi impian jauh, melainkan kenyataan yang sedang dijalani.

)*Pengamat Publik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *