Cegah Potensi Konflik, Waspada Provokasi Kotak Kosong Jelang Pilkada

Oleh : Haikal Fathan Akbar )*

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang semakin dekat, penting bagi kita untuk berhati-hati terhadap berbagai potensi konflik yang mungkin muncul. Salah satunya adalah provokasi yang dilakukan melalui “kotak kosong”. Situasi ini bukanlah fenomena baru, namun ancaman yang muncul bersamaan dengannya bisa menjadi ancaman serius bagi stabilitas demokrasi di Indonesia.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia telah menegaskan bahwa masyarakat berhak mendukung kotak kosong dalam Pilkada yang hanya diikuti oleh calon tunggal. Hal ini sebenarnya adalah bagian dari kebebasan politik yang dijamin oleh demokrasi.

Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, dalam pernyataannya menyebutkan bahwa “keberpihakan” masyarakat kepada kotak kosong adalah hal yang sah-sah saja. Namun, yang menjadi perhatian utama adalah jangan sampai dukungan tersebut digunakan sebagai alat provokasi untuk memengaruhi masyarakat lainnya agar tidak menggunakan hak pilih mereka dalam Pilkada nanti.

Seringkali, konsep kotak kosong ini disalahpahami. Banyak yang melihatnya sebagai bentuk perlawanan terhadap calon tunggal, namun lebih dari itu, kotak kosong juga bisa menjadi simbol ketidakpuasan terhadap proses politik yang ada. Namun, penting untuk dicatat bahwa kotak kosong seharusnya tidak dimanfaatkan untuk menggembosi partisipasi pemilih, sebab hal ini dapat berimplikasi negatif terhadap keberlangsungan demokrasi.

Di sisi lain, Afifuddin mengakui bahwa hingga saat ini, KPU belum dapat memastikan apakah mereka juga akan memfasilitasi kampanye bagi kotak kosong sebagai pilihan yang sah dalam pemilihan nanti.

Menurutnya, hal ini masih menjadi wacana yang perlu dibahas lebih lanjut, terutama karena proses pendaftaran pasangan calon kepala daerah belum dibuka. Kita masih menunggu apakah pada tanggal 27-29 Agustus nanti akan benar-benar muncul banyak calon tunggal dan kotak kosong, yang tentu akan mempengaruhi dinamika politik di berbagai daerah.

Fenomena kotak kosong dalam Pilkada sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Sejak Pilkada 2015, kita telah menyaksikan bagaimana kotak kosong berulang kali hadir dalam kontestasi politik, bahkan pernah unggul dalam Pilkada Kota Makassar 2018 melawan pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi. Namun, secara umum, 98,11 persen calon tunggal yang maju sejak Pilkada 2015 berhasil memenangkan pemilihan.

Menghadapi situasi ini, para pakar politik pun angkat bicara. Mereka menilai bahwa kotak kosong akan semakin menjamur di Pilkada 2024 mendatang. Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, mengungkapkan bahwa ada kecenderungan bagi para calon kepala daerah untuk menggalang dukungan dari banyak partai agar bisa memenangkan Pilkada tanpa perlu menghadapi lawan politik yang kuat.

Contoh yang dapat diambil adalah Pilkada Kabupaten Sumenep, di mana pasangan calon Achmad Fauzi Wongsojudo-KH. Imam Hasyim (Fauzi-Imam) diperkirakan akan maju sebagai calon tunggal karena dominasi mereka di daerah tersebut.

Kondisi serupa juga terjadi di Pilkada Kota Batam, di mana pasangan Amsakar Achmad dan Li Claudia Chandra sudah berhasil mendapatkan dukungan dari hampir semua partai politik yang ada. Hal ini menunjukkan betapa fenomena kotak kosong semakin mengakar dalam dinamika politik local.

Para pakar menilai bahwa fenomena kotak kosong ini merupakan indikasi menurunnya semangat partai politik untuk berkompetisi secara sehat dalam kontestasi demokrasi. Alih-alih mengusung calon penantang yang kompeten, partai politik lebih memilih berkongsi dan berkoalisi dengan figur yang memiliki peluang besar untuk menang.

Hal ini mencerminkan kemerosotan praktik demokrasi di Indonesia, di mana proses pemilihan seolah-olah menjadi formalitas belaka tanpa adanya persaingan yang sehat dan adil.

Pakar politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, juga mengkritisi fenomena ini sebagai hasil dari kegagalan kaderisasi partai politik. Menurutnya, partai politik cenderung lebih suka mengambil jalan pintas dengan mengusung calon tunggal untuk melawan kotak kosong, daripada memberikan kesempatan bagi kader-kader potensial untuk maju. Akibatnya, anak bangsa yang berprestasi dan memiliki kemampuan untuk memimpin daerah tidak diberikan ruang untuk berkembang.

Fenomena kotak kosong ini juga dipandang sebagai bentuk manipulasi demokrasi yang dilakukan oleh elite politik. Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, menyebutkan bahwa merangkul semua partai untuk mendukung satu calon dalam Pilkada sudah menjadi praktik yang umum dilakukan.

Hal ini membuat demokrasi kita menjadi miskin, karena hanya calon-calon kaya yang mampu memberikan mahar politik kepada partai yang bisa maju dalam kontestasi. Dengan demikian, munculnya pesaing yang memiliki potensi untuk membuat mereka kalah menjadi sangat minim.

Feri menegaskan bahwa kotak kosong bukanlah bentuk demokrasi yang sesungguhnya. Dalam demokrasi konstitusional, seharusnya ada pertarungan gagasan di antara para calon, sehingga pemilih memiliki alternatif pilihan yang terbaik.

Jika hanya ada satu calon, maka tidak ada gagasan yang dipertarungkan. Kotak kosong bukanlah representasi dari demokrasi yang sehat, melainkan hanya ilusi demokrasi yang sebenarnya merupakan bancakan politik antara partai dan elite yang berkuasa.

Oleh karena itu, menjelang Pilkada 2024, kita harus lebih waspada terhadap fenomena kotak kosong ini. Meskipun secara hukum sah-sah saja, namun potensi provokasi dan dampak negatif yang bisa ditimbulkannya terhadap demokrasi kita tidak boleh diabaikan.

Mari kita jaga semangat demokrasi ini, jangan biarkan kotak kosong mereduksi makna dari pilihan kita. Pilkada adalah kesempatan untuk menentukan masa depan, bukan sekadar formalitas yang harus dilewati. Dengan kesadaran dan partisipasi aktif, kita bisa mencegah potensi konflik dan memastikan bahwa demokrasi tetap hidup dan sehat di negeri ini.

)* Penulis adalah kontributor Vimedia Pratama Institute

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *