Oleh : Loa Murib
Program Listrik Desa Papua merupakan fondasi penting dalam mempercepat pembangunan wilayah timur Indonesia sekaligus memperkuat keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ketersediaan listrik tidak sekadar menghadirkan penerangan, tetapi menjadi prasyarat utama bagi peningkatan kualitas pendidikan, layanan kesehatan, pertumbuhan ekonomi lokal, serta penguatan konektivitas sosial masyarakat. Dalam konteks Papua yang memiliki tantangan geografis ekstrem dan sebaran permukiman yang terpencar, kehadiran listrik menjadi simbol nyata kehadiran negara dalam menjamin hak dasar warga.
Komitmen pemerintah untuk mempercepat elektrifikasi di Papua semakin menguat di bawah kepemimpinan nasional saat ini. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa seluruh kampung di Provinsi Papua Selatan ditargetkan sudah teraliri listrik paling lambat pada 2028. Penegasan tersebut mencerminkan orientasi kebijakan yang berpihak pada wilayah tertinggal dan perbatasan, sekaligus menempatkan Papua sebagai prioritas strategis pembangunan energi nasional. Pengalaman pribadi Bahlil yang lahir dan tumbuh di kampung tanpa listrik turut membentuk sensitivitas kebijakan yang lebih membumi, karena memahami langsung dampak keterbatasan energi terhadap masa depan generasi muda.
Pernyataan Bahlil menegaskan bahwa akses listrik memiliki hubungan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Anak-anak di kampung yang terang memiliki kesempatan belajar lebih baik, akses informasi yang lebih luas, serta ruang tumbuh yang setara dengan daerah lain. Oleh karena itu, elektrifikasi desa tidak boleh dipandang sebagai proyek infrastruktur semata, melainkan sebagai investasi jangka panjang dalam pembangunan manusia Papua. Dukungan Presiden Prabowo Subianto terhadap penambahan anggaran listrik desa di wilayah 3T memperlihatkan kesinambungan kebijakan nasional dalam mewujudkan pemerataan pembangunan dari Sabang sampai Merauke.
Di sisi teknis dan operasional, PT PLN memegang peran kunci dalam menerjemahkan kebijakan menjadi realisasi di lapangan. PLN menargetkan secara bertahap melistriki sekitar 4.200 kampung di Tanah Papua yang hingga kini belum terjangkau listrik. Pada 2025, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp500 miliar untuk pembangunan infrastruktur kelistrikan di 128 lokasi di Papua. Target berikutnya pada awal 2026 mencakup sekitar 554 lokasi dengan kebutuhan anggaran awal sekitar Rp2,5 triliun, sesuai penugasan pemerintah kepada PLN.
General Manager PLN Unit Induk Wilayah Papua dan Papua Barat, Diksi Erfani Umar, menjelaskan bahwa penugasan ini merupakan yang pertama dalam tiga tahun terakhir untuk wilayah Papua Raya. Hal tersebut menunjukkan adanya dorongan baru dari pemerintah pusat agar percepatan elektrifikasi benar-benar bergerak signifikan. Seluruh lokasi pembangunan tersebar di berbagai wilayah kerja PLN, sehingga menuntut kesiapan teknis, logistik, dan koordinasi lintas sektor yang kuat. Tantangan ini tidak ringan, namun menjadi bagian dari komitmen negara dalam menjangkau daerah yang selama ini tertinggal.
Pendekatan sosial menjadi aspek penting dalam pelaksanaan Program Listrik Desa Papua. PLN mengedepankan koordinasi intensif dengan pemerintah daerah, mulai dari tingkat provinsi hingga distrik, untuk memastikan kelancaran pembangunan, termasuk dalam penyediaan lahan dan penerimaan masyarakat. Pendekatan ini penting mengingat pembangunan infrastruktur di Papua tidak dapat dilepaskan dari kearifan lokal, struktur sosial, serta kondisi geografis yang unik. Keberhasilan elektrifikasi sangat ditentukan oleh sejauh mana proyek tersebut diterima dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat.
Dari sisi teknologi, strategi PLN menyesuaikan jenis pembangkit dengan potensi energi lokal. Di wilayah dengan sumber air melimpah seperti Pegunungan Arfak, pengembangan pembangkit listrik tenaga mini dan mikrohidro menjadi pilihan yang berkelanjutan. Sementara itu, di daerah dengan keterbatasan sumber air seperti Papua Barat Daya, pembangkit listrik tenaga surya yang dilengkapi baterai atau sistem hibrida menjadi solusi yang paling rasional. Pendekatan ini tidak hanya efisien secara teknis, tetapi juga sejalan dengan agenda transisi energi dan pengurangan emisi karbon.
Dukungan juga datang dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi. Anggota BPH Migas Erika Retnowati menyampaikan harapan agar tantangan elektrifikasi di Papua dapat segera diselesaikan, mengingat masih ribuan desa dan kampung yang belum menikmati listrik. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa persoalan listrik di Papua bukan sekadar isu sektoral, melainkan agenda nasional yang menyangkut keadilan, kesejahteraan, dan persatuan bangsa. Kunjungan langsung ke fasilitas kelistrikan di Jayapura menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam memantau dan memastikan keberlanjutan sistem energi di Papua.
Pada akhirnya, Program Listrik Desa Papua adalah fondasi penting bagi percepatan pembangunan wilayah timur. Listrik membuka jalan bagi tumbuhnya usaha kecil, berkembangnya layanan publik berbasis teknologi, serta meningkatnya produktivitas masyarakat. Lebih dari itu, listrik menghadirkan rasa keadilan dan pengakuan bahwa Papua adalah bagian integral dari masa depan Indonesia. Dengan komitmen politik yang kuat, dukungan anggaran yang memadai, serta pelaksanaan yang sensitif terhadap kondisi lokal, program ini diharapkan mampu menjadi katalis transformasi sosial dan ekonomi Papua menuju masa depan yang lebih terang dan berkeadilan.
*Penulis adalah mahasiwa Papua di Jawa Timur
