Agenda Besar Asta Cita, Hasil Nyata: Tahun Pertama Prabowo-Gibran

Oleh: Moeini Syakir *)

Tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran ditandai dengan pendekatan “whole-of-government” yang tidak hanya mengeksekusi program unggulan Asta Cita, tetapi juga mengorkestrasi kementerian/lembaga agar saling melengkapi. Tiga simpul prioritas—ketahanan pangan, kemandirian energi lewat hilirisasi, dan penguatan sumber daya manusia—mulai menunjukkan hasil yang terukur, baik pada indikator makro maupun dampak mikro di rumah tangga.

Di sektor pangan, Kementerian Pertanian memotret lompatan produksi dan ketersediaan. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyampaikan bahwa stok beras nasional melampaui 4 juta ton—tertinggi sepanjang sejarah—dengan estimasi produksi beras tahun ini pada kisaran 33–34 juta ton, sementara jagung bertambah sekitar 1,5 juta ton dibanding tahun sebelumnya. Bagi petani, capaian produksi saja tidak cukup; yang menentukan adalah kesejahteraan relatif terhadap biaya input. Di titik ini, Badan Pusat Statistik menjelaskan Nilai Tukar Petani (NTP) mencapai 124,36 pada September 2025, level yang menunjukkan perbaikan daya beli; Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah, menandaskan bahwa pasokan beras yang kuat mengubah perannya dari pendorong inflasi menjadi penopang stabilitas harga dan daya beli. Sinergi hulu-hilir juga tampak dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang menekankan peran koperasi desa dan revitalisasi tambak sebagai generator lapangan kerja sekaligus fondasi kemandirian pangan.

Kemandirian energi diakselerasi melalui hilirisasi mineral. Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/BKPM Todotua Pasaribu mencatat investasi hilirisasi telah menembus lebih dari Rp190 triliun hingga awal September 2025, dengan nikel dan tembaga sebagai poros utama. Ini bukan sekadar membangun smelter; membangun ekosistem industri yang menyerap tenaga kerja, menambah nilai di dalam negeri, dan mengurangi kerentanan terhadap gejolak harga komoditas mentah. Dalam optik kebijakan publik, hilirisasi menghadirkan “institutional complementarities”: kepastian perizinan, infrastruktur pendukung, dan kebijakan SDM—yang bila hadir bersama, memindahkan perekonomian ke kurva kemungkinan produksi yang lebih tinggi.

Di ranah pembangunan manusia, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi alat kebijakan gizi maupun pengungkit ekonomi lokal. Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana melaporkan distribusi lebih dari 1,1 miliar porsi hingga akhir September 2025, ditopang 10.012 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk menjaga mutu dan keamanan pangan. Dimensi ekonomi MBG terasa nyata: Ketua DPP PKB Daniel Johan menekankan pelibatan lebih dari 6.400 UMKM dalam rantai pasok—dari petani, nelayan, hingga katering sekolah—sehingga belanja program berputar di desa dan kecamatan. Pendekatan ini selaras dengan gagasan tentang “capability expansion”: gizi memperkuat kemampuan belajar dan produktivitas, sementara pelibatan UMKM memperluas kebebasan ekonomi masyarakat.

Kesehatan pencegahan diperkuat melalui Cek Kesehatan Gratis (CKG). Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memaparkan jangkauan program di 38 provinsi dan lebih dari 10.000 fasilitas kesehatan, dengan lebih dari 36 juta warga telah mendapat pemeriksaan. Ini pondasi penting bagi efisiensi pembiayaan kesehatan: mendeteksi dini faktor risiko lebih murah daripada merawat penyakit stadium lanjut. Secara paralel, program perumahan menangani aspek “rasa aman” keluarga. Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait melaporkan realisasi FLPP di atas 196 ribu unit dengan bunga KPR tetap 5 persen, sembari menegaskan kesediaan menambah kuota jika kebutuhan rakyat masih tinggi. Perumahan adalah mesin efek ganda: ia menyerap tenaga kerja konstruksi, menggerakkan industri bahan bangunan, dan meningkatkan aset rumah tangga.

Pemberdayaan ekonomi desa dirajut lewat Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) yang dilaporkan telah hadir di 83.132 titik. Kebijakan ini tidak berjalan sendiri: BPOM RI menyiapkan lebih dari 38.000 daftar obat untuk Apotek Koperasi Merah Putih, memperkuat layanan dasar di tingkat desa. Inilah bentuk “service bundling” di kebijakan publik—ketika intervensi ekonomi (koperasi) ditautkan ke layanan kesehatan (apotek), efeknya berlipat: akses finansial, akses obat, dan literasi kesehatan meningkat bersama-sama.

Dari sisi pembiayaan pembangunan, kinerja investasi memberi ruang fiskal dan teknis. Badan Pengelola Investasi Danantara melaporkan realisasi Rp179,05 triliun pada semester I 2025, dengan 80 persen diarahkan ke proyek dalam negeri, termasuk energi hijau dan pengelolaan limbah. Chief Investment Officer Danantara, Pandu Sjahrir, menekankan daya tarik Indonesia yang bertumpu pada pertumbuhan kuat, inflasi rendah, populasi muda, serta profil risiko yang memberi kombinasi imbal hasil dan keamanan—perspektif yang memperkuat narasi peluang jangka panjang. Di hulu anggaran, Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno menilai efisiensi belanja menjadi ciri tata kelola setahun ini; hasil penghematan diarahkan ke program pro-rakyat seperti MBG, KDMP, Sekolah Rakyat, dan CKG. Dari sisi independen, Ah Maftuchan dari The Prakarsa memandang langkah efisiensi tersebut memperkuat disiplin fiskal dan pemerataan pembangunan daerah—sebuah penekanan bahwa kebijakan tidak hanya besar secara nominal, tetapi juga tepat guna.

Dalam satu tahun pemerintahan, tiga pelajaran utama muncul: fokus pada sasaran konkret memudahkan evaluasi, desain program yang saling terhubung meningkatkan efektivitas anggaran, dan kemitraan luas mempercepat pemerataan manfaat. Secara keseluruhan, arah kebijakan konsisten dengan Asta Cita, menjadikan negara perancang ekosistem yang menyehatkan, memandirikan, dan memberdayakan rakyat.

*) pemerhati kebijakan publik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *