Oleh: Juanda Syah)*
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan pemerintah tidak hanya berorientasi pada peningkatan kualitas gizi masyarakat, tetapi juga memiliki potensi besar untuk memperkuat ekonomi lokal. Dengan mengoptimalkan suplai bahan baku dari desa dan sekitarnya, program ini diharapkan menjadi penggerak ekonomi rakyat sekaligus memperkuat kemandirian pangan di tingkat desa.
Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia (Kemendes PDT RI) menilai bahwa keberhasilan MBG tidak bisa dilepaskan dari kemampuan desa dalam menyediakan bahan baku secara mandiri. Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Daerah Tertinggal Kemendes PDT RI, Agustomi Masik, mengatakan bahwa optimalisasi suplai bahan baku dari desa akan memastikan perputaran ekonomi tetap terjadi di wilayah tersebut.
Menurut Agustomi dengan menjadikan desa sebagai pusat suplai bahan baku MBG, potensi tersebut bisa dimanfaatkan untuk memperkuat ekonomi lokal. Uang hasil transaksi bahan pangan akan berputar di desa, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menumbuhkan lapangan kerja baru.
Agustomi Masik menegaskan bahwa optimalisasi suplai bahan baku dari desa juga sejalan dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan. MBG bukan hanya program gizi, melainkan juga instrumen pembangunan ekonomi desa terpadu. Melalui penyediaan bahan baku dari petani, peternak, nelayan, dan pelaku usaha mikro di desa, MBG menciptakan rantai nilai ekonomi baru yang memperkuat struktur ekonomi lokal.
Lebih dari itu, keterlibatan desa dalam penyediaan bahan baku MBG membuat masyarakat menjadi aktor utama dalam pembangunan. Mereka tidak hanya menjadi penerima manfaat program, tetapi juga penyedia produk yang mendukung jalannya kegiatan MBG. Sistem ini menciptakan hubungan saling menguntungkan antara penyelenggara program dan masyarakat desa, sekaligus meningkatkan rasa memiliki terhadap program pemerintah.
Sebagai contoh, koperasi desa dapat mengambil peran dalam mengelola rantai suplai bahan baku MBG. Salah satu model yang bisa diterapkan adalah Koperasi Desa Merah Putih, yang berfungsi sebagai pengumpul hasil panen dari petani dan pelaku usaha lokal. Koperasi kemudian menyalurkan bahan pangan tersebut ke dapur-dapur penyelenggara MBG di wilayah sekitar. Skema ini tidak hanya menjamin efisiensi pasokan, tetapi juga menjaga kualitas bahan pangan yang digunakan.
Optimalisasi suplai bahan baku dari desa juga memberi dampak positif bagi berbagai sektor ekonomi lokal. Petani mendapatkan pasar yang pasti, pelaku usaha mikro memiliki peluang untuk tumbuh, dan koperasi desa berkembang sebagai lembaga ekonomi yang mandiri. Selain itu, peningkatan aktivitas ekonomi di desa akan memperkuat daya beli masyarakat serta memperluas kesempatan kerja.
Program ini juga mendorong pengembangan produk pangan lokal yang bernilai tambah. Desa bisa memanfaatkan potensi sumber daya alamnya untuk menghasilkan bahan makanan bergizi seperti sayuran, ikan, telur, dan beras. Dengan adanya permintaan rutin dari MBG, desa terdorong untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertaniannya. Dampaknya, suplai bahan baku menjadi stabil dan berkelanjutan, sementara ekonomi lokal semakin kokoh.
Dari sisi efisiensi, pasokan bahan baku yang bersumber dari wilayah terdekat mengurangi biaya logistik dan menjaga kesegaran bahan makanan. Pola distribusi berbasis lokal ini juga membantu mengurangi ketergantungan terhadap pemasok dari luar daerah. Selain menghemat anggaran, strategi ini mendukung prinsip pembangunan hijau karena jarak distribusi yang lebih pendek turut menekan emisi karbon dari transportasi.
Sementara itu, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto. Ia mengingatkan agar desa tidak hanya menjadi penonton dalam pelaksanaan program nasional seperti MBG. Menurutnya, pemerintah desa harus proaktif memanfaatkan peluang ekonomi dari program ini untuk meningkatkan pendapatan warganya.
Yandri Susanto menilai bahwa optimalisasi suplai bahan baku dari desa adalah langkah strategis untuk memperkuat ekonomi lokal. Dengan keterlibatan langsung masyarakat desa dalam penyediaan bahan pangan, MBG dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Pemerintah desa berkolaborasi dengan badan usaha milik desa (BUMDes) dan koperasi untuk membangun ekosistem ekonomi yang mendukung pelaksanaan program ini.
Lebih jauh, pelibatan desa dalam suplai bahan baku MBG juga membuka peluang bagi munculnya inovasi di sektor pangan lokal. Generasi muda desa dapat terlibat dalam pengolahan produk makanan, manajemen rantai pasok, hingga pengembangan sistem logistik digital berbasis desa. Hal ini akan menumbuhkan semangat wirausaha dan memperkuat kemandirian ekonomi masyarakat.
Melalui pendekatan ini, MBG menjadi lebih dari sekadar program pemberian makanan bergizi. MBG menjadi instrumen strategis untuk memperkuat ekonomi lokal, menekan angka kemiskinan, dan menciptakan kemandirian desa. Ketika suplai bahan baku dapat dioptimalkan dari desa, maka setiap rupiah yang dikeluarkan pemerintah untuk program MBG akan kembali berputar di tingkat lokal dan memberi manfaat langsung bagi masyarakat.
Dengan sinergi antara Kementerian, Lembaga serta masyarakat optimalisasi suplai bahan baku dari desa diyakini mampu memperkuat fondasi ekonomi nasional dari akar rumput. Program MBG pun tidak hanya menghadirkan makanan bergizi bagi masyarakat, tetapi juga menghadirkan harapan baru bagi kebangkitan ekonomi desa di seluruh Indonesia.
)* Penulis adalah mahasiswa Jakarta tinggal di Bandung