Oleh : Aditya Nugraha )*
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto sebagai tamu kehormatan dalam perayaan Bastille Day di Paris bukan hanya simbol penghormatan diplomatik, tetapi juga cerminan kedekatan strategis antara Indonesia dan Prancis. Di tengah perubahan tatanan geopolitik global, langkah Prabowo menjalin hubungan bilateral dengan Eropa menunjukkan ketajaman strategi luar negeri yang tidak hanya bersifat simbolik, tetapi konkret dalam kerja sama jangka panjang.
Dalam acara Bastille Day yang digelar pada 14 Juli 2025 lalu, Presiden Prabowo menjadi Presiden Republik Indonesia pertama yang diundang secara resmi oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk menghadiri perayaan nasional paling penting di negeri tersebut. Prancis menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara besar lain yang pernah mendapat kehormatan serupa, seperti India, Singapura, Afrika Selatan, Brasil, hingga Amerika Serikat. Kehadiran Prabowo pun disambut dengan prosesi kehormatan, iring-iringan pasukan, dan lantunan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” di jantung Paris.
Presiden Macron secara personal menyampaikan ucapan terima kasih kepada Presiden Prabowo melalui akun Instagram-nya. “Terima kasih atas kehadiran Anda di hari perayaan nasional kami, sahabat Prabowo. Saya sangat bangga melihat tentara Indonesia berbaris bersama pasukan kami,” tulis Macron dalam Bahasa Indonesia. Dalam balasannya, Prabowo juga menggunakan bahasa Prancis sebagai bentuk respek, memperlihatkan kematangan dalam memahami nilai-nilai simbolis diplomasi antarbangsa.
Simbol-simbol itu tidak berhenti di podium Bastille Day. Sebelumnya, Presiden Prabowo telah melakukan lawatan penting ke Belgia, bertemu dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Presiden Dewan Eropa Antonio Costa. Pertemuan ini menandai keberhasilan besar dalam penyelesaian negosiasi Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) yang telah tertunda lebih dari satu dekade. Hasilnya adalah kesepakatan penghapusan hampir seluruh tarif perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa.
Langkah ini menuai apresiasi dari berbagai kalangan. Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia, Ali Rif’an, menyebut penyelesaian CEPA oleh Prabowo sebagai sinyal bahwa Indonesia kini memainkan peran aktif dalam merancang arsitektur ekonominya secara global. Ia menegaska bahwa hal tersebut bukan sekadar pencapaian diplomasi, tetapi juga bentuk strategi keluar dari ketergantungan pada satu kekuatan besar seperti Amerika Serikat.
Ali juga menggarisbawahi pentingnya langkah ini dalam membuka pasar Eropa sebagai poros ekonomi baru bagi Indonesia. Dengan populasi 460 juta dan GDP raksasa, Uni Eropa memberikan ruang ekspansi baru untuk sektor industri dan UMKM nasional. Namun, ia juga mengingatkan bahwa tantangan berikutnya ada di dalam negeri, yaitu kesiapan pelaku usaha nasional dalam menyesuaikan produk dengan standar pasar Eropa.
Kehadiran Presiden Prabowo di Bastille Day juga mencerminkan bagaimana Indonesia memadukan diplomasi pertahanan dengan diplomasi budaya. Kontingen “Patriot Indonesia II” yang terdiri dari 500 personel gabungan TNI-Polri dan taruna, bukan hanya representasi kekuatan militer, tetapi juga citra kedisiplinan, keragaman, dan nilai kebangsaan Indonesia. Momentum ini menjadi panggung internasional untuk menunjukkan wajah Indonesia yang kuat namun damai, tegas namun bersahabat.
Lebih dalam, momen Bastille Day kali ini adalah penanda penting 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Prancis. Peristiwa ini membuka lembaran baru hubungan bilateral yang lebih luas dan strategis, dari pertahanan, perdagangan, hingga kebudayaan. Macron bahkan mengenang kunjungannya ke Akademi Militer di Magelang beberapa bulan lalu sebagai pengalaman emosional yang menguatkan persahabatan kedua negara.
Presiden Prabowo menunjukkan bahwa diplomasi modern tidak melulu soal kesepakatan tertulis, tetapi juga tentang membangun kepercayaan, menjalin kedekatan personal antar pemimpin, dan menciptakan ruang kolaborasi yang saling menguntungkan. Diplomasi yang diperankan Prabowo adalah diplomasi yang tidak kaku, tetapi fleksibel, yang mengutamakan substansi tanpa mengabaikan simbol.
Prabowo juga memperlihatkan bahwa politik luar negeri Indonesia tetap mengedepankan prinsip bebas aktif. Ia tidak memilih satu blok kekuatan tertentu, melainkan membangun jembatan dialog dan kerja sama lintas kawasan. Hal ini penting bagi posisi Indonesia sebagai negara nonblok dan pemimpin di Asia Tenggara, apalagi di tengah dunia yang semakin multipolar.
Kepiawaian Presiden Prabowo dalam berdiplomasi tercermin bukan hanya dari sambutan hangat yang diterimanya, tetapi juga dari kepercayaan yang tumbuh dari para mitra strategis. Ia mampu memanfaatkan momen historis seperti Bastille Day sebagai medium memperkuat posisi tawar Indonesia, sekaligus menegaskan peran aktif Indonesia dalam tata hubungan internasional.
Di tengah dunia yang diliputi ketidakpastian, kehadiran pemimpin yang cakap membangun kepercayaan dan memperluas jejaring global adalah aset besar bagi negara. Presiden Prabowo telah menunjukkan kapasitas itu dengan elegan. Apresiasi setinggi-tingginya patut diberikan kepada Presiden Prabowo Subianto atas diplomasi yang tidak hanya membawa nama Indonesia ke kancah dunia, tetapi juga menyentuh sisi emosional dan strategis sekaligus.
Dalam langkah mantap di Champs-Élysées, dalam senyum persahabatan di meja makan Istana Élysée, dan dalam keberhasilan menggerakkan kembali perjanjian dagang strategis, Presiden telah membuktikan bahwa Indonesia siap berbicara dalam bahasa yang dipahami dunia: bahasa hormat, keberanian, dan kerja sama.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Khatulistiwa Institute